Penyandang Disabilitas Belum Mendapatkan Hak Kesehatan Setara
Oleh : Muhammad Hasir
PENYANDANG disabilitas belum mendapatkan hak setara di bidang kesehatan seperti warga negara lainnya, kendati hak kesehatan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016.
Hak kesehatan semakin penting menurut situasi pandemi saat ini. Tahun lalu, World Health Organization (WHO) mengeluarkan pernyataan, bahwa pemerintah pusat dan daerah harus memastikan penyandang disabilitas mendapat akses yang mudah di bidang kesehatan. Pasalnya, mereka lebih rentan terhadap persebaran virus Corona.
Serta penulis mendorong agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan swasta memenuhi ketentuan sebagaimana diatur pada UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pasal 53 poin (1) menyebutkan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit dua persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Pada poin (2), perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang dDisabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Pada UU tersebut juga diatur hak aksesibilitas penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik dan mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu.
Berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 9,7 persen dari jumlah penduduk, atau sekitar 26 juta orang.
Ada tiga kriteria untuk memilik Perda. Pertama, sudah memiliki Perda Disabilitas. Berikutnya, jumlah disabilitas dengan rasio relatif banyak, dan terakhir, rasio Jamkes yang relatif rendah namun jumlah disabilitasnya banyak.
Salah satu akses penting adalah ketersediaan Jamkes (Jaminan Kesehatan), Nakes (Tenaga Kesehatan) yang tidak merata dan belum sesuai kebutuhan. Kalau untuk kualitas misalnya alat dukung bagi penyandang disabilitas. Saat ini masih terbatas pada beberapa jenis disabilitas, padahal disabilitas banyak macamnya.
Dari 26 juta penyandang disabilitas di Indonesia, 31 persen atau 8 juta orang belum memiliki Jamkes. Padahal mereka merupakan kelompok rentan yang paling membutuhkan pelayanan kesehatan karena kekhususannya untuk mendapatkan pelayanan rutin.
Riset tersebut juga menemukan bukan hanya kekurangan jumlah Nakes, tetapi juga rendahnya pengetahuan nakes dalam memahami kebutuhan disabilitas.
Contoh, Nakes tidak memahami cara berkomunikasi dengan penyandang tuna rungu, sehingga pasien tidak dapat menyampaikan keluhan penyakitnya secara maksimal.
Untuk diketahui, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia bersumber dari Susenas belum selaras dengan data milik Dinas Sosial di daerah.
Kementerian Sosial melalui Peraturan Menteri Sosial Nomor 2 tahun 2021 sedang memutakhirkan data disablitas dengan cara memulai pendataan di tingkat kelurahan.
Salah satu sumber, yakni Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). DTKS tidak lagi dapat menjadi patokan.
Dinas Sosial mengakui jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Kab. Labusel) sangat kecil, karena dari DTKS. Harus ada pendataan ulang, seperti sensus penduduk tapi khusus disabilitas.
Untuk diketahui, DTKS di Kementerian Sosial hanya memuat 40 persen penduduk yang mempunyai status kesejahteraan sosial terendah.
Jadi, disabilitas yang tercatat di DTKS tergolong penduduk berkesejahteraan terendah, tidak memuat jumlah total disabilitas yang ada di Indonesia.
Akurasi data jumlah penyandang disabilitas, sangat penting karena menjadi dasar berbagai kebijakan yang akan diaplikasikan.
Bupati bersyukur, kehadiran Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IPMS) di Kab. Labusel berhasil memberi perspektif baru pada para pemangku kebijakan.
Pemerintah daerah menyadari, selama ini perhatian terkait hak kesehatan penyandang disabilitas memang kurang.
Dinas Sosial di Kab. Labusel bersama IPSM saat ini menurunkan tim yang akan melakukan pendataan ulang dengan langsung menyambangi penduduk.
Memang awalnya kami berangkat berdasarkan data yang ada (Dinas Sosial), tapi nanti sambil menyisir ke tetangga si penyandang disabilitas yang ada dalam data.
Dari berbagai temuan di Kab. Labusel, IPSM memberikan empat rekomendasi kepada Pemkab Labusel.
Pertama, perbaikan-perbaikan pendataan disabilitas. Kedua, penataan layanan disabilitas di masa pandemi, meliputi SOP pelayanan kesehatan dan pemerataan Nakes untuk layanan kesehatan disabilitas. Ketiga, peningkatan infrastruktur rumah disabilitas. Dan keempat, mekanisme penghargaan.
Khusus Kab. Labusel akan membentuk Komite Disabilitas, sementara Kab. Labusel telah memiliki komunitas yang mewadahi para disabilitas, yakni Perkumpulan Penyandang Disabilitas Labuhanbatu Selatan (PPDLS).
Keberadaan paguyuban tersebut berperan menjadi penjalin sinergi antara pemerintah daerah dengan kelompok masyarakat.
Kendati hasil penelitian berikut rekomondasi kebijakan serta jalinan kolaborasi dengan Pemkab Labusel dan IPSM tidak dapat dijadikan role model untuk diterapkan ke wilayah lainnya, namun seluruh hasil tersebut akan menjadi pijakan membawa hasil penelitian ke pemerintah pusat.
Kab. Labusel akan jadi best practice. Kita bakal pakai perspektif di daerah ini, karena kita telah mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi.
Hasil penelitian IPSM dapat dilihat pada buku Aksesibilitas Penyandang Disabilitas yang memuat lengkap kajian dan rekomendasi.
Kerja keras IPSM dalam menyediakan sumber pengetahuan untuk menjadi dasar pembuatan kebijakan pemerintah berdasarkan bukti konkret, merupakan sinyal kuat agar pemerintah mempererat kolaborasi dengan berbagai lembaga demi tercapainya pembangunan inklusif di Kab. Labusel yang lebih baik. (*)
Muhammad Hasir adalah Anggota DPRD Kab. Labusel dari Fraksi PDI Perjuangan dan Ketua IPMS Kab. Labusel
Comments