Judi Online, Perhatian yang Dibuat-buat
JUDI ONLINE menjadi pembahasan hangat di Indonesia dua bulan terakhir. Permasalahan tersebut semakin gencar dibicarakan sejak dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online oleh Presiden RI, Joko Widodo, belum lama ini.
Permainan judi berkedok game berhadiah ini terbilang luar biasa, karena mampu menggaet pemain dari semua kalangan usia, mulai anak-anak hingga orang tua. Meskipun menggunakan teknologi, para pemain dimanjakan dengan kemudahan penggunaannya, semudah memasukkan duit (deposit) lalu tancap gas bermain.
Pangsa pasar yang besar ini membuat beragam situs judi online pun bermunculan, layaknya jamur di musim hujan. Tidak mengherankan, jika dalam satu tahun omzetnya mecapai Rp327 triliun pada tahun 2023 dan pada bulan pertama saja pada tahun 2024 Rp100 triliun.
Hasil yang luar biasa itu tentu mencengangkan publik. Dengan perputaran uang sebanyak itu, para bandar bahkan dapat melakukan perlawanan terhadap ancaman apa pun.
Perhatian yang Dibuat-buat
Sangat mengherankan, ketika pemerintah mendadak menjadi perhatian terhadap nasib masyarakat, lalu mempersalahkan para bandar. Hal ini ditandai dengan dibentuknya Satgas Pemberantasan Judi Online.
Diawal-awal, komitmen pemerintah tersebut terdengar cukup sangar. Namun setelah Satgas terbentuk, hasilnya pun melempem, hanya berkutat pada agen dan Selebgram, bahkan pemain yang notabene korban dari kelalaian yang terkesan sengaja tersebut.
Disadari atau tidak, pemerintah memiliki andil cukup besar terkait suburnya bisnis judi online di Tanah Air. Sejak sepuluh tahun belakangan, bisnis ini secara terang-terangan menunjukkan jati diri dihadapan publik dan terbilang sangat jarang ditindak.
Parahnya, masyarakat justru seolah dididik supaya mahir bermain judi online lewat sejumlah aplikasi game berhadiah chip, sebelum akhirnya naik kelas bermain judi online. Hal ini tampak dari dibiarkannya beragam aplikasi game berhadiah chip berseliweran di alam maya.
Permainan dalam aplikasi judi online tidak berbeda dengan game berhadiah chip. Yang membedakan hanya hadiah, karena dalam judi online hadiahnya adalah uang, sedangkan game lain berupa chip, namun dapat dijual-belikan.
Sejak 2022, banyak seruan yang menyatakan game berhadiah chip dan yang sejenis adalah permainan judi juga menimbulkan banyak mudarat. Bahkan sejumlah daerah, sudah mengeluarkan fatwa larangan cukup keras. Seruan yang begitu keras itu seolah tidak terdengar.
Namun diawal tahun 2024, tiba-tiba saja game berhadiah chip tersebut menjadi permainan judi dan haram jadah pula, seiring dengan ditangkapnya sejumlah pihak yang terlibat dalam usaha tersebut.
Masyarakat yang sudah candu terhadap permainan ini pun beralih ke permainan lebih menantang, yakni judi online. Untuk bermain tentu tidak sulit, karena sama persis dengan beragam permainan pada game berhadiah chip.
Awalnya bet terkecil di situs judi online masih diangka Rp100. Namun, ditengah gencarnya seruan perang dari pemerintah, pada Juni 2024 seluruh situs judi online menaikkan bet (taruhan) terkecil menjadi Rp800 untuk satu kali putar.
Sepekan ini, pemerintah agaknya mulai bimbang untuk memberantas permainan judi online. Terbukti, belum satu pun bandar kelas kakap yang disasar.
Berantas Jangan Setengah Hati
Dibutuhkan keseriusan pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam memberantas permainan haram ini. Penanganan judi online harus tuntas sampai menyentuh akarnya, yakni para bandar dan orang yang menikmati penghasilan dari bisnis ini.
Sebelum memblokir konten, Kementerian Komunikasi semestinya melacak transaksi di platform judi online tersebut. Kemudian PPATK menelusuri aliran dananya.
Setelah semua itu dilakukan, polisi kemudian menindak secara hukum. Tidak kalah penting adalah menghukum aparat dan pejabat yang bermain mata dengan pelaku judi online.
Jika pemerintah berkehendak, sebenarnya memberantas judi online bukan hal sulit, termasuk menangkap para bandarnya di luar negeri. Namun memang sangat dibutukan kemauan aparatur negara menyelamatkan kelas bawah dari jerat dan kecanduan judi online. (*)
Comments