Komisi III DPR RI Dorong Ketentuan dan Batasan Restorative Justice dalam KUHAP Baru
JAKARTA
suluhsumatera : Anggota Komisi III DPR RI, Mangihut Sinaga menegaskan perlu adanya penjelasan dan batasan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (KUHAP) terkait syarat dan ketentuan Restorative Justice (RJ).
Tujuannya supaya tidak bias dan tumpang tindih antara penegak hukum, dalam penerapan pelaksanaan di lapangan.
Hal ini dikatakan Anggota Komisi III, Mangihut Sinaga dalam bincang tipis-tipis yang dipandu oleh host ternama, Erman Tale Daulay, Kamis (5/12/2024).
“Secara pribadi saya mendukung RJ ini dan memang sangat baik,” sebutnya.
Nah, yang celakanya karena ini terjadi di lapangan belum jelas ketentuan dan batasan dalam undang-undang, bisa-bisa saja perkara pembunuhan nanti di RJ kan, dengan alasan karena berdamai atau bagaimana.
Maka inilah mustinya harus diatur oleh undang-undang perkara mana yang boleh di RJ kan, apakah ancaman hukuman 5-4 tahun ke bawah atau pelanggaran-pelanggaran saja.
“Oleh karena itu, kebetulan saat ini saya di komisi III DPR RI akan mendorong status RJ ini pada undang-undang KUHAP yang baru nantinya. Sebab, RJ ini harus ada batasan terkait perkara apa saja yang bisa dibuat, supaya tidak bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di tubuh aparat penegak hukum serta intansi terkait lainnya,” paparnya.
Apalagi, menurut politisi Partai Golkar ini,sejauh ini status RJ ini yang diterapkan masih bola liar, maka supaya tidak liar perlu aturan limitatifnya, syarat- syaratnya apa saja kasus yang bisa dilakukan RJ.
“Artinya inilah yang mau kita dorong dari komisi III DPR RI maupun Baleg maupun nanti dengan pihak-pihak terkait. Supaya di KUHAP yang baru nanti RJ ini masuk, paling tidak Januari 2026 bisa diterapkan ketentuan dan undang-undanganya. Dengan harapan supaya tidak ada tabang pilih, atau diskriminasi, maka perlu adanya keseragaman termasuk versinya jaksa dan beda versihya polisi,” pungkasnya.
Sebelumnya, Mangihut Sinaga dari Dapil Sumut III ini menguraikan, RJ ini dimulai dari Negeri Belanda. Penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Di Belanda diatur dengan undangan-undangan, diatur dengan limitatifnya serta syarat-syarat apa.
Jadi tidak semua perkara dibuat restorative justice ada aturan. Misalnya, ancaman hukuman empat tahun ke bawah, serta perkara ringan.
Dan pelaksananya juga di Belanda itu adalah Jaksa.
Oleh karena itu, penjara itu tidak perlu banyak-banyak di sana dan tidak perlu sesak seperti di Indonesia ini.
“Hal ini terjadi karena apa, di Indonesia ini perkara kecil saja pun masuk penjara.
Maka kalau di Belanda itu harus dihindari dan diselesaikan dan itupun kalau berulang-ulang tidak boleh dan ada ukurannya di sana,” jelasnya.
“Nah, di Indonesia inilah yang diadopsi sekarang restorative diversi di undangan-undangan nomor 1 tahun 2023 ada restorative justice, tetapi ada juga Peraturan Jaksa Angung (Perjak) tetapi ada juga peraturan Kapolri (Perkap) ada juga Peraturan Gubernur (Pergub) ada juga dari kehakiman, jadi semua membuat Restorative justice ini. Sehingga polisi dengan jaksa membuat masing-masing sendiri. Jadi sekarang ini karena tidak ada aturan yang jelas diatur oleh undangan-undangan limitatifnya itu apa, inilah yang terjadi semacam diskriminasi. Pasti bedalah yang dibuat RJ oleh Kejaksaan maupun kepolisian,” sebutnya.
“Maka ini sekarang, apalagi saya di dalam forum komisi III sudah terus berbicara RJ ini supaya agak diperjelas diatur dalam KUHAP nanti karena kita sekarang lagi menggodok KUHAP yang baru. Salah satu juga RJ ini diatur didalam KUHAP dan tidak perlu dibuat undangan-undangan tersendiri lagi tetapi di KUHAP dimasukkan lagi syarat-syarat limitatifnya apa, siapa pelaksananya,” pungkasnya. (hrp)
Comments