Mencari Jalan Damai dalam Demokrasi
Oleh: Ir Effendi Sianipar
Demokrasi dan Kekuasaan
SEJARAH demokrasi Indonesia dalam empat masa, pertama Demokrasi Parlementer (1945-1959 ), kedua Demokrasi Terpimpin (1959-1965), ketiga Demokrasi Pancasila (1966-1998) yang berlaku pada masa pemerintahan Orde Baru oleh pemerintahan Soeharto, dan sekarang ke empat Demokrasi Pasca Reformasi (1998-sekarang) saat posisi UUD 45 sudah diamandemen.
Dalam perkembangannya praktek demokrasi di Indonesia masih terus berkembang dengan sistemnya yang lebih terbuka dan tetap ada partisipasi dari rakyat. Demokrasi bukan barang sederhana yg bukan sekedar terminologi gagah gagahan melainkan sebuah sikap dan prilaku inklusif.
Saat itu, demokrasi sudah dipeluk erat erat dalam membangun bangsa dan negara harus menjadi teladan, karena masa depan bangsa ini tidak mungkin lagi dibangun dengan menyakiti atau membohongi rakyat sendiri.
Lahirnya kepemimpinan baru 2024 dengan segala keruwetan yang berhadapan dengan kondisi geopolitik tidak menentu, yang goyangannya akan terasa tidak langsung tetapi dalam waktu tertentu.
Munculnya kelompok egomania menganggap dirinya paling benar terus bermunculan yang mempengaruhi dan menjalar di pikiran masyarakat, sehingga rakyat semakin ruwet melihatnya, ditambah situasi ekonomi makro sehingga akhirnya wajah demokrasi kita sangat formal dlm kerangka kekuasaan dan bukan substansial.
Demokrasi Oplosan
Demokrasi menjadi gagasan yang berasal dari masa Yunani kuno. Sistem demokrasi yang diterapkan tersebut terdapat di Kota Yunani pada abad ke-6 dan ke-3 SM, serta merupakan sistem demokrasi langsung.
Sistem demokrasi langsung ini dilakukan oleh pemerintah yang membuat keputusan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara.
Sehingga, pada akhir abad ke-19, gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud konkret sebagai sistem politik dan mendasarkan diri atas kemerdekaan individu, kesamaan hak, dan hak pilih warga negara.
Namun istilah “ambil uangnya pilih yang lain” menjadi kalimat yang merangsek pikiran rakyat, memberikan kemungkinan bagi kita untuk memilih wakil rakyat semakin tidak jernih dan akhirnya terpilih wakil rakyat dlm demokrasi oplosan.
Situasi ini tentu menjadi tanggung jawab partai dalam kerangka politik yang berdemokrasi dan bukan semata mata elektoral. Jadi, tidak usah heran situasi yang "mem-beo" dalam perjalanan berbangsa bernegara akan mewarnai lembaran perjalanan berdemokrasi.
Jadi jangan salahkan kritik jalanan akan terus bermunculan diakibatkan situasi, dimana Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Apalagi tertangkapnya para koruptor yang "memakan uang rakyat" dengan jumlah bukan milliaran rupiah lagi, tapi triliunan rupiah. Rakyat hanya dapat diam dalan ketidak pastian dan para intelektual terus memberikan pandangan yang kritis.
Damai dan Demokrasi
Demonstrasi sebuah ungkapan adanya rasa keresahan serta kekhawatiran mendalam dalam berbangsa dan bernegara, wacana sebuah senjata dan dialog sebagai pelurunya yang harus dilakukan oleh para wakil rakyat dengan rakyatnya dalam upaya mencari titik temu.
Pemerintah, walau baru seumur jagung harus mau berdialog sebagai wajah demokrasi dalam upaya menyerap secara utuh dengan berbagai elemen, maka jika percaya pada hari depan yang lebih bercahaya kita harus memberhentikan memutar film buram tersebut.
Demonstrasi adalah ekspresi dari masyarakat, dan demokrasi sekali lagi memang tidak sederhana, kemudian kebiasaan berbohong dan mengawut awut perasaan rakyat segera hentikan.
Kemudian bagi rakyat harus dapat belajar menjauhkan kekerasan tapi lakukan dengan cara damai, termasuk belajar mendukung pemenang dalam lima tahunan dan pemenang harus terima dievaluasi ,berdialog, dan pemenang berani menegakan supremasi hukum kepada siapa saja secara adil, itu semua adalah cara menuju jalan damai dlm berdemokrasi. (*)
Penulis adalah Anggota DPR RI Periode 2014-2019 dan 2019-2024
Comments