Yusril Sebut "Gaya Baru" Putusan MK Menuai Persoalan Baru Pasca PSU Pilkada 2020
LABUHANBATU
suluhsumatera : Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 17 Daerah menjadi polemik pasca pelaksanaannya.
Kondisi itu terjadi di salah satu daerah yang melaksanakan PSU, seperti di Kab. Labuhanbatu, Sumatera Utara (Sumut), pada akhir April lalu.
Ada pihak yang merasa kurang puas dari hasil PSU yang telah dilaksanakan dan menganggap ada terjadi kecurangan kemudian mengambil langkah dengan mangajukan permohonan pembatalan ke MK.
Melalui Kuasa Hukum, Prof. Dr Yusril Ihza Mahendra, pihak pemohon yaitu Paslon No. Urut 03, telah bermohon kepada KPU untuk melakukan penundaan Rapat Plano Penetepan Paslon terpilih Kab. Labuhanbatu, sembari menunggu hasil keputusan MK.
Namun dalam praktiknya pihak termohon, yakni KPU Labuhanbatu tetap melanjutkan tahapan penetepan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, pada awal Mei, setelah menggelar rekapitulasi perhitungan suara pasca putusan MK.
"Dari daerah yang sudah melaksanakan PSU, timbul pertanyaan tentang apakah Paslon pemenang hasil PSU bisa langsung diputuskan oleh KPU setempat, atau harus menunggu putusan MK jika ada paslon lain yang keberatan atas hasil PSU," sebut Yusril kepada wartawan melalui pesan tertulis, Selasa (4/5/2021).
"Terhadap Paslon yang kalah dalam PSU dan menganggap kembali terjadi kecurangan dalam PSU, adakah kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan keadilan dengan kembali membawa perkara tersebut ke MK," imbuhnya.
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu, ada ketidakjelasan pengaturan hukum, bahkan dapat pula dikatakan ada kevakuman hukum dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dirinya menjelaskan, dari ketentuan Pasal 54, khususnya ayat 4,5,6, dan 7 PKPU No. 19 tahun 2020 itu masih mengatur hasil PSU dilaporkan ke MK dan MK akan memeriksa kembali laporan hasil PSU itu.
"MK bisa memutuskan mensahkan hasil PSU, bisa pula memerintahkan PSU sekali lagi, dalam hal keberatan atas hasil PSU yang diajukan oleh Paslon lain diterima MK," ucapnya.
Namun, lanjut salah satu tokoh pemikir dan intelektual Indonesia itu, putusan MK dalam perselisihan hasil Pilkada tahun 2020 berbeda dengan dengan putusan PSU sebelumnya.
"Kalau sebelumnya MK hanya membuat putusan sela dalam memerintahkan PSU dan KPU melaporkan hasil PSU, lalu MK memutuskan dalam putusan akhir, kini MK tidak lagi mengeluarkan putusan sela tetapi mengeluarkan putusan akhir," terangnya.
Yusril menambahkan, amar Putusan akhir MK antara lain menyatakan memerintahkan KPU melaksanakan PSU di beberapa tempat kemudian hasilnya digabungkan dengan hasil pemungutan suara yang tidak dibatalkan dan diumumkan KPU tanpa harus melapor ke MK lebih dulu.
"Ini saya sebut sebagai "putusan gaya baru" MK yang beda dengan gaya putusan dalam Pilkada yang pernah ada sebelumnya," ujarnya.
"Permasalahannya adalah bagaimana jika hasil PSU ditolak oleh Paslon lain, misalnya karena kecurangan kembali terjadi dalam PSU, apakah mereka tidak berhak mengajukan permohonan pembatalan hasil PSU ke MK," sebutnya.
Yusril menilai ada kelemahan KPU dalam mengantisipasi hal di atas pasca putusan gaya baru MK.
KPU tidak segera mengubah dan atau menambah ketentuan Pasal 54 PKPU No. 19 tahun 2020 pasca munculnya putusan gaya baru itu, sehingga terjadi ketidakpastian dan bahkan kevakuman hukum.
"Lantas apa yang harus dilakukan KPU di daerah setelah PSU, langsung melakukan rekap dan segera mengumumkan paslon pemenang seperti terjadi di Kab. Labuhanbatu atau harus menunggu putusan MK jika ada sengketa di sana," sebutnya. (zain)
Comments