Praktisi Hukum Tata Negara: Jangan Membelenggu Kemerdekaan Pers Lewat UU ITE
MEDAN
suluhsumatera : Akhir-akhir ini perbincangan terhadap kehidupan pers terus menjadi sorotan publik, tidak saja oleh pekerja pers.
Namun hampir seluruh elemen dan kalangan masyarakat terus mendiskusikan ancaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air.
Di Sumatera Utara (Sumut) sendiri belakangan ini ancaman terhadap wartawan baik berupa verbal hingga ancaman fisik terus berulang, bahkan hingga merenggut nyawa.
Kasus tertembaknya pemimpin redaksi (Pemred) Lasernewstoday.com, Mara Salem Harahap di Kab. Simalungun, Sumut, pada Sabtu (19/06/2021) dini hari.
Tertembaknya Mara Salem Harahap menambah daftar sejarah kelabu kehidupan pers, khususnya wartawan di Sumut.
Penembakan terhadap Pemred Lasernewstoday.com itu, mendapat kecaman berbagai pihak di Tanah Air, termasuk Dr.
Ali Yusran Gea.
Praktisi sekaligus Akademisi Hukum ini meminta kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan terhadap Mara Salem Harahap.
"Polisi harus mengungkap itu, kita minta kepada Kapolda Sumut untuk bisa mengungkap penembakan itu, termasuk pihak-pihak yang terlibat dibalik penembakan itu," ujar Ali Yusran Gea saat ditemui, Selasa (22/06/2021), di Pondok Konstitusi miliknya, Jl. Bakti Selatan No. 42 Gaperta Ujung, Kota Medan.
Ali Yusran Gea yang juga penerima Surat Keputusan (SK) sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (PERHAKHI) bersama Dr. Mirza Nasution sebagai Sekretaris DPD PERHAKHI Sumut dari Ketua Umum DPP PERHAKHI, yang juga Pengacara ternama Elza Syarief, pada Senin (14/06/2021) lalu, menegaskan bahwa kasus penembakan terhadap Mara Salem Harahap di Simalungun sebagai bukti negara gagal dalam melindungi rakyatnya.
"Itu (penembakan wartawan) fatal bagi negara-negara maju seperti Indonesia saat ini," katanya.
Oleh sebab itu, lanjut Ali Yusran Gea, polisi harus mampu mengungkap pelaku penembakan termasuk menyampaikan kepada publik motif dibalik penembakan terhadap mendiang Mara Salem Harahap.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu, juga menyoroti kriminalisasi yang sedang mengancam dan dialami wartawan melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menurut Gea, keberadaan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai wujud dari Pasal 28 huruf F UUD tahun 1945 sudah final.
Karena itu, ia meminta agar wartawan di Tanah Air harus dilindungi oleh Negara, bukan dikriminalisasi lewat Pasal karet UU ITE.
"Sebenarnya dengan begini (penerapan UU ITE kepada jurnalis) adalah ancaman bagi kebebasan berpendapat. Sebab kebebasan berpendapat itu dijamin oleh Konstitusi. Karena itu, kritik (Pers) adalah bagian dari demokrasi, jadi Pemerintah jangan alergi soal (kritik) itu. Mengkritik untuk perbaikan adalah sesuatu yang sangat bagus, karena itu kritikan jangan dijadikan sebagai persoalan hukum lewat UU ITE itu," jelasnya.
Ketua DPD PERHAKHI Sumut itu kembali mengingatkan kepada seluruh elemen bangsa untuk tetap menghormati profesi serta karya jurnalistik karena wartawan dilindungi UU Pers.
"Undang-Undang Pers itu filosofisnya adalah melindungi kebebasan berpendapat. UU (Pers) itu memberikan perlindungan terhadap rekan pers untuk mempublikasi segala kebenaran," tuturnya.
Menyoal tentang penerapan UU ITE oleh penyidik terhadap karya jurnalistik, Ali Yusran Gea kembali menegaskan, pemidanaan terhadap jurnalis lewat UU ITE sangat bertentangan dengan UU Pers yang telah lex specialis, sehingga penerapan UU ITE terhadap sengketa jurnalistik harusnya ditiadakan.
"Itulah penerapan hukum (oleh penyidik) yang keliru, tidak bisa serta merta karya jurnalistik itu dipidana, tidak boleh," cetusnya.
Dia juga meminta Dewan Pers agar sungguh-sungguh melindungi pekerja Pers sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Pers.
"Makanya Dewan Pers ini harus mampu melindungi pekerja Pers, dialah yang bisa menentukan sikapnya terhadap perbuatan jurnalis itu, apakah mengandung unsur pidana atau etika, itu sesungguhnya perintah Undang-Undang Pers," katanya.
Terkakhir, Ali Yusran Gea meminta kepada publik untuk selalu menggunakan mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang diatur oleh UU Pers, jika keberatan terhadap produk pers.
"Katakanlah jika ada (masyarakat) yang bersinggungan dengan berita, ada ketidak benaran, misalnya, itu tidak bisa langsung dipidana, karena perintah undang-undang (Pers) ada hak jawab serta hak koreksi. Itu harus didahului," ujarnya.
Terhadap maraknya laporan masyarakat atas karya jurnalistik kepada kepolisian, Ali Gea menyarankan agar penyidik Kepolisian mempertimbangkan laporan tersebut dengan mendahulukan mekanisme yang diatur oleh UU Pers.
"Polisi harus objektif melihat pengaduan/laporan masyarakat, apakah memenuhi syarat apa tidak? kalau terkait dengan karya jurnalistik polisi tidak boleh langsung membuat laporan polisi. Karena dia (polisi) harus objektif melihat pelanggaran dan membandingkan dengan UU Pers, apakah telah memenuhi (UU Pers) apa tidak (memenuhi UU Pers)," pungkasnya. (sutan)
Comments