KSP Gelar Rapat Koordinasi di Labusel Bahas Sengketa Lahan Eks. Naga Liman
KOTAPINANG
suluhsumatera : Perwakilan warga yang tergabung dalam Masyarat Dusun Tanjung Marulak (MDTM) tidak belum dapat menunjukkan alas hak terkait klaim atas lahan perkebunan kepapa sawit Eks. PT. Naga Liman yang kini dikuasi dan diusahai oleh PT. Sumber Tani Agung (PT. STA) di Dusun Tanjung Marulak, Desa Hutagodang, Kec. Sungaikanan, Kab. Labuhanbatu Selatan (Labusel).
Meski demikian, mereka yakin dapat menunjukkan bukti-bukti di lokasi, yang menunjukkan kawasan itu dulunya adalah perkampungan masyarakat.
Hal itu terungkap dalam rapat koordinasi yang digelar Tim Agraria Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) bersama masyarakat Dusun Tanjung Marulak, PT. STA, Pemkab Labusel, dan pihak terkait lainnya di ruang pertemuan Kantor Bupati Labusel, Jumat (1/12/2023).
Rapat yang dibuka oleh Bupati Labusel diwakili Plh. Sekda, Ralikul Rahman ini sebagai tindak lnjut atas pengaduan masyarakat ke KSP terkait permasalahan lahan perkebunan kelapa sawit Eks. Naga Liman yang kini diusahai PT. STA di dusun tempat tinggal mereka.
Hadir dari KSP, Tenaga Ahli Madya Kedeputian II KSP Sahat Lumban Raja serta Imanta Ginting dan turut menghadiri Kapolres Labusel AKBP. Maringan Simanjuntak, mewakili BPN, dll.
Imanta Ginting dari KSP mengatakan, kehadiran mereka karena adanya aduan masyarakat terkait sengketa agraria di Dusun Tanjung Marulak, Desa Hutagodang. Menurutnya, sampai saat ini KSP sudah menerima ribuan kasus yang diadukan masyarakat dan salah satu proritas presiden itu penyelesaian konflik agraria.
Pendamping Hukum PT. STA, Irwansyah Nasution, SH, MH dalam paparannya menyampaikan, secara umum perusahaan sangat terbuka untuk mencari solusi terkait permasalahan yang terjadi. Menurutnya, perusahaan pun memberikan perhatian kepada masyarakat sebagai mitra usaha.
“Areal PT. STA Kebun Naga Liman ini awalnya dimiliki oleh PT. Cisadane seluas 520Ha. Kemudian pada 1994, lahan tersebut dijual kepada PT. Naga Liman Hutagodang, yang kemudian diperluas 71,02 Ha di Desa Sampean, dengan alas hak 12 surat ganti kerugian. Pada 1998 PT. Naga Liman menjual lahan tersebut kepada PT. STA dengan total lahan seluas 591,02 Ha. Kemudian, pada 2021 PT. STA beritikad baik untuk memenuhi berbagai regulasi dari pemerintah, termasuk Hak Guna Usaha atau HGU. Sebelumnya HGU tidak dapat diurus, karena areal itu berada di kawasan,” katanya.
Dalam perjalanannya sebut alumni Fakultas Hukum UISU ini, pada 2021 terjadi konflik agraria, dimana ada kelompok warga mengklaim lahan tersebut milik orangtua mereka. Perusahaan pun kemudian melakukan sejumlah upaya non ligitasi untuk mempertahankan hak.
“Pada November 2021, karena tidak ada titik temu, masyarakat melaporkan perusahaan kepada yang berwajib dengan dugaan penyerobotan lahan. Tapi, pada 13 April 2022 Polres Labuhanbatu menghentikan penyelidikan, karena dugaan itu tidak terbukti. Kemudian warga melakukan langkah lain, ke DPRD Sumut dan terakhir Oktober lalu mediasi di Polres Labusel. Dari mediasi itu, kita juga dengarkan harapan masyarakat, tapi tidak ada titik temu. Perusahaan sangat terbuka untuk mencari solusi, sepanjang tidak mengganggu investasi,” ungkap pria berkacamata yang karib disapa Ibe tersebut.
Selama ini pun kata dia, perusahan sudah beritikad baik untuk bermitra dengan masyarakat, yakni dengan memberikan bantuan bibit kelap sawit. Menurutnya, bantuan tersebut diberikan kepada masyarakat yang memiliki lahan.
Hal tersebut diamini Pangaribuan Siregar, anggota kelompok tani di dusun tersebut yang menerima bantuan dari PT. STA. Menurutnya, pada Februari 2023, perusahaan membuat bantuan bibit kelapa sawit ke petani yakni yang tergabung dalam dua kelompok tani, Maju Bersama dan Mitra Hugo.
“Bantuan kami terima berupa 133 batang bibit kelapa sawit per Ha lahan. Sudah disalurkan sesuai ukuran sebanyai 19 ribu batang bibit,” imbuhnya.
Sementara itu perwakilan masyarakat yang terhimpun dalam Masyarakat Dusun Tanjung Marulak (MDTM) mengatakan, masyarakat selama ini tidak pernah sekalipun untuk minta ganti rugi dan merongrong.
Mereka mengakui kepemilikan lahan tersebut ada ganti rugi lahan, tapi bukan oleh PT. STA dan sampai sekarang perusahaan tidak pernah beritikad baik mengurus HGU.
“Sekitar tahun 1814 kawasan tersebut dikuasi masyarakat, lalu tahun 1983 PT. Cisadane Sawit Raya datang. Setelah jadi kebun sawit lalu dijual ke PT. Naga Liman,” kata Herlin dimini warga lainnya, P. Tanjung.
Namun diakui Herlin, mereka tidak memiliki alas hak atas lahan yang dikuasai PT. STA tersebut. Namun dia meyakinkan, dapat membuktikan kalau di kawasan itu ada bekas-bakas peninggalan perkampungan lama.
Sebagai solusi, MDTM menawarkan, perusahaan mengembalikan lahan yang sudah berisi sawit sebanyak 200 Ha dan minimal 100 Ha kepada masyarakat. Atau perusahaan terus bersaha dan masyarakat berhak juga menanam di areal tersebut.
Solusi lainnya, yakni perusahaan tetap berusaha dalam jangka 20 tahun, karena perusahaan sudah berusaha dan memiliki aset, setelahnya lahan dikembalikan kepada masyarakat. Terakhir, lahan dikembalikan kepada masyarakat, karena memang ini awalnya milik masyarakat.
Menanggapi pernyataan kedua belah pihak yang bersengketa tersebut, Plh. Sekda Ralikul Rahman dan Kapolres Labusel AKBP. Maringan Simanjutak meminta para pihak untuk melengkapi dokumen masing-masing. Mereka pun berharap agar kedua belah pihak dapat saling menahan diri.
Dalam kesimpulannya, Tenaga Ahli Madya Kedeputian II KSP Sahat Lumban Raja mengatakan, perusahaan dan masyarakat agar membuat laporan terkait lahan kepada KSP, selambatnya dua minggu setelah pertemuan tersebut. Laporan tersebut kata dia, juga harus memuat usulan-usulan sebagai jalan keluar.
“Kami akan konsultasi dengan atasan untuk menindaklanjuti hasil Rakor ini. Jika dalam perjalannya belum ada jalan keluar, maka akan kita gelar Rakor lanjutan,” katanya. (*/sya)
Comments