Kepemimpinan Visioner Ditengah Dinamika Zaman: Belajar untuk Labuhanbatu Selatan
Oleh: Ependi Pasaribu, SE, MAP
KEPEMIMPINAN selalu menjadi isu relevan dalam setiap dinamika bangsa. Dari pergantian menteri hingga mundurnya anggota DPR, publik menyoroti kualitas pemimpin yang ada di negeri ini. Begitu juga di tingkat lokal, kepemimpinan Bupati Labuhanbatu Selatan (Labusel) yang baru delapan bulan menjabat menarik untuk dicermati.
John C. Maxwell pernah mengatakan, “Leadership is influence – nothing more, nothing less.” Pernyataan ini menegaskan bahwa kepemimpinan bukan sekadar jabatan, tetapi tentang pengaruh yang mampu menggerakkan orang lain. Bupati Labusel kini menghadapi ujian untuk membuktikan pengaruhnya, apakah membawa perubahan atau sekadar mengisi kursi kekuasaan.
Fenomena politik nasional belakangan menunjukkan betapa rapuhnya komitmen sebagian pemimpin. Pengunduran diri anggota DPR, misalnya, mencerminkan adanya tarik-menarik kepentingan yang jauh dari kepentingan rakyat.
Peter F. Drucker menegaskan, “Management is doing things right; leadership is doing the right things.” Dalam konteks ini, pemimpin daerah tidak hanya harus bekerja efektif, tetapi juga memastikan bahwa arah kebijakan benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Bupati Labusel dituntut memahami pesan ini agar tidak terjebak dalam rutinitas birokrasi semata.
Kepemimpinan lokal memiliki tantangan unik, salah satunya adalah kedekatan langsung dengan masyarakat. Warren Bennis mengatakan, “Leaders are people who do the right thing; managers are people who do things right.” Kutipan ini menggarisbawahi perbedaan mendasar antara sekadar mengelola dan benar-benar memimpin.
Dalam delapan bulan ini, masyarakat Labusel tentu menilai apakah bupatinya sekadar mengelola atau sudah mampu menghadirkan kepemimpinan yang memberi harapan baru. Fenomena nasional memberi cermin: jika elite pusat saja bisa goyah, bagaimana daerah mempertahankan stabilitasnya?
Kondisi global juga memberikan pelajaran berharga, salah satunya dari Nepal, yang baru-baru ini dilanda gejolak politik dan sosial. Situasi itu menunjukkan betapa rentannya negara atau daerah tanpa kepemimpinan yang kuat dan visioner. Prof. Dr. Sondang P. Siagian pernah menulis, “Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja mencapai tujuan yang telah ditentukan.” Jika pelajaran ini ditarik ke Labusel, jelas bahwa Bupati harus mampu mengonsolidasikan masyarakat dan birokrasi untuk satu visi besar. Tanpa itu, daerah bisa terjebak pada konflik internal yang menghambat kemajuan.
Labusel, dengan segala potensi sumber daya alam dan manusianya, membutuhkan arah kepemimpinan yang jelas. Dr. Kartini Kartono menyebut, “Pemimpin adalah seseorang yang mampu mempengaruhi perilaku orang lain tanpa harus menggunakan kekuatan.” Definisi ini menuntut pemimpin untuk hadir dengan keteladanan, bukan paksaan. Delapan bulan pertama kepemimpinan tentu masih masa adaptasi, tetapi masyarakat sudah menanti tanda-tanda perubahan nyata. Pemimpin yang terlalu sibuk dengan simbol kekuasaan tanpa aksi nyata akan segera kehilangan legitimasi. Inilah tantangan yang tidak bisa diabaikan oleh Bupati Labusel.
Jika menilik sejarah, Indonesia memiliki figur militer yang dihormati, salah satunya Jenderal (Purn.) A. H. Nasution. Beliau menegaskan pentingnya disiplin dan keteladanan dalam kepemimpinan, karena tanpa itu organisasi akan runtuh. Bagi seorang kepala daerah, pesan ini berarti membangun tata kelola birokrasi yang disiplin, transparan, dan berorientasi pelayanan.
Warga Labusel tentu ingin merasakan perubahan dalam layanan publik, dari urusan administrasi hingga akses kesehatan dan pendidikan. Tanpa disiplin birokrasi, segala visi pembangunan hanya akan menjadi wacana. Di sinilah peran pemimpin sebagai penggerak utama.
Fenomena pergantian menteri di level pusat mengingatkan kita bahwa jabatan adalah amanah yang bisa berakhir kapan saja. Bagi Bupati Labusel, hal ini menjadi peringatan untuk bekerja cepat dan tepat, karena masa jabatan lima tahun tidak boleh disia-siakan. Seperti kata Maxwell, “A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.”
Pemimpin harus tahu arah, menempuh jalan itu, dan mencontohkan kepada rakyatnya. Jika tidak, kepercayaan masyarakat bisa hilang sebelum waktunya. Momentum delapan bulan ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat fondasi.
Pengunduran diri anggota DPR di tengah jalan seharusnya menjadi refleksi bagi pemimpin lokal. Mengundurkan diri di tengah tanggung jawab adalah cermin kegagalan memahami amanah rakyat. Drucker sudah mengingatkan, “The best way to predict the future is to create it.” Artinya, seorang pemimpin tidak boleh pasif menunggu keadaan, tetapi harus menciptakan masa depan. Bupati Labusel harus memaknai pesan ini dengan berani melahirkan terobosan-terobosan baru. Dengan demikian, Labusel bisa menjadi kabupaten yang berdaya saing, bukan sekadar daerah pinggiran.
Di era globalisasi, kepemimpinan daerah juga tidak dapat lepas dari dinamika dunia. Krisis politik Nepal, memberi sinyal bahwa instabilitas dapat menular jika pemimpin gagal membangun legitimasi dan kepercayaan. Bennis mengingatkan, “Leadership is the capacity to translate vision into reality.” Visi yang dimiliki pemimpin Labusel harus ditransformasikan menjadi aksi nyata. Masyarakat menunggu realisasi janji-janji kampanye dalam bentuk program yang berdampak. Tanpa itu, visi akan dianggap utopia belaka.
Masyarakat Labusel tentu memiliki ekspektasi besar terhadap kepemimpinan baru. Delapan bulan adalah waktu yang cukup untuk membaca arah kebijakan, walau belum semua dapat terealisasi. Siagian menekankan, kepemimpinan bukan hanya soal instruksi, tetapi juga tentang membangun kesepahaman kolektif. Dalam konteks Labusel, hal ini berarti melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Kepemimpinan yang partisipatif akan lebih mudah diterima daripada model otoriter. Dengan begitu, rasa memiliki terhadap program daerah akan tumbuh dengan sendirinya.
Kartini Kartono juga menyoroti bahwa kepemimpinan sejati lahir dari kapasitas moral seorang individu. Jika pemimpin hanya mengandalkan jabatan, maka cepat atau lambat pengaruhnya akan memudar. Untuk Labusel, ini berarti bupati harus hadir sebagai teladan, baik dalam kehidupan pribadi maupun publik. Transparansi dalam penggunaan anggaran, misalnya, menjadi indikator awal. Jika rakyat melihat kesungguhan dalam mengelola dana publik, maka kepercayaan akan meningkat. Dari situlah legitimasi politik semakin kokoh.
Nasution memberi pesan kuat tentang pentingnya kesiapan menghadapi krisis. Dalam sejarah militernya, ia mengingatkan bahwa pemimpin harus selalu siap dengan segala kemungkinan. Di daerah, krisis bisa datang dalam bentuk bencana, konflik sosial, atau ketidakstabilan ekonomi. Pemimpin Labusel harus belajar dari prinsip ini dengan membangun sistem tanggap darurat yang kuat. Bukan hanya reaktif, tetapi juga proaktif mengantisipasi masalah. Dengan begitu, masyarakat merasa terlindungi dan percaya kepada pemerintahannya. Labusel membutuhkan kepemimpinan yang konsisten, tidak mudah goyah oleh tekanan politik. Dengan konsistensi itu, pembangunan bisa berjalan sesuai rencana.
Fenomena DPR yang ditinggalkan anggotanya juga menyiratkan lemahnya integritas. Drucker pernah menegaskan, “Effective leadership is not about making speeches or being liked; leadership is defined by results, not attributes.” Pemimpin sejati tidak cukup hanya populer atau pandai berbicara. Yang lebih penting adalah hasil nyata yang bisa dirasakan rakyat. Bupati Labusel harus memegang prinsip ini agar kepemimpinannya dinilai dari prestasi, bukan pencitraan. Dengan begitu, setiap kebijakan akan terukur dampaknya.
Labusel memiliki potensi besar dalam bidang perkebunan, hilirisasi kelapa sawit, pertanian, perikanan, dan sektor potensial seperti pariwisata, ada lebih dari 30 Pabrik Kelapa sawit, dan ada 2 pabrik karet, dan arel pertanian. Siagian menyebut, kepemimpinan harus mampu menggerakkan semua potensi yang ada menuju satu tujuan. Bupati perlu memastikan bahwa sektor-sektor unggulan ini mendapat perhatian serius. Dengan strategi tepat, Labusel bisa menjadi kabupaten yang mandiri secara ekonomi. Hal ini tentu sejalan dengan tuntutan masyarakat yang menginginkan kesejahteraan nyata. Kepemimpinan yang visioner akan mampu menjawab tantangan ini.
Dalam konteks sosial, Kartini Kartono menekankan pentingnya kepemimpinan yang humanis. Pemimpin tidak boleh berjarak dengan rakyatnya, karena kepercayaan tumbuh dari kedekatan emosional. Bupati Labusel harus sering turun ke lapangan, mendengar keluhan, dan merasakan langsung kehidupan masyarakat. Dengan begitu, kebijakan yang lahir akan lebih tepat sasaran. Kehadiran pemimpin di tengah rakyat menjadi energi tersendiri. Inilah yang membedakan pemimpin sejati dengan sekadar pejabat.
Nasution juga memberikan teladan tentang arti pengorbanan dalam kepemimpinan. Pemimpin harus siap mengorbankan kenyamanan pribadi demi kepentingan publik. Dalam konteks Labusel, ini berarti berani mengambil keputusan sulit meski tidak populer. Misalnya, dalam pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi yang sering menghadapi resistensi. Namun, keberanian inilah yang akan menjadi warisan kepemimpinan. Rakyat lebih menghargai pemimpin yang tegas daripada yang kompromistis pada hal-hal prinsip.
Setelah delapan bulan, masyarakat tentu berharap ada evaluasi terhadap capaian yang sudah diraih. Labusel membutuhkan pemimpin yang reflektif, mau mengoreksi diri, dan terbuka terhadap kritik. Maxwell menyebut, “Leaders must be close enough to relate to others, but far enough ahead to motivate them.” Artinya, pemimpin harus dekat dengan rakyat, tetapi tetap memiliki visi jauh ke depan. Jika prinsip ini dijalankan, maka kepemimpinan di Labusel akan mendapat dukungan luas. Dengan dukungan itu, perubahan lebih mudah diwujudkan.
Pada akhirnya, kepemimpinan bukan hanya tentang hari ini, tetapi juga tentang warisan yang ditinggalkan untuk generasi berikutnya. Labusel masih punya harapan besar untuk menjadi daerah yang mandiri, berorientasi pelayanan prima, dekat dengan warganya, memiliki ekonomi yang kuat, birokrasi yang reformis, dan kehidupan sosial yang nyaman untuk semua. Itulah yang bisa dirangkum dalam “Visi Labusel Modern.” Dengan kepemimpinan yang mau belajar dan berani menghadapi fenomena zaman, harapan itu bukan sekadar mimpi. Kini tinggal bagaimana Bupati Labusel membuktikan diri dalam sisa masa jabatannya. Jika visi ini dijalankan konsisten, maka Labusel akan menjadi contoh daerah yang berhasil membangun dengan kepemimpinan modern. (*)
Penulis adalah Pemerhati Dialektika Kepemimpinan dan Inisiator Kelompok Studi Mahasiswa/Masyarkat Labusel
Comments