23 Tahun PKB, Belajar Memaknai Iklas
Oleh : Drs. H. Jansen Harahap
SAYA termasuk yang bersyukur menjadi kader PKB. Rasa syukur ini paling tidak didasari oleh kesadaran untuk memaknai, sekaligus menikmati apa itu yang namanya kerja iklas.
23 tahun lalu saya yang masih tergolong kader muda NU, dipercaya menjadi Tim Asistensi Pembentukan Kepengurusan PKB di Sumatera Utara. Yang namanya Tim Asistensi, tentu kerjanya disuruh ke sana ke mari oleh para senior.
Saya bersama tim menjumpai tokoh-tokoh NU di daerah ini dan meminta respons mereka tentang ide pembentukan Partai Politik oleh kalangan Nahdliyin. Hasilnya banyak yang menyambut positif dan tentu banyak juga yang menolak untuk tidak dikatakan mencemooh.
Yang menolak umumnya adalah mereka tokoh-tokoh yang masih aktif di tiga Parpol orde baru waktu itu. Maklum, tokoh-tokoh Nahdliyin Sumut saat itu banyak yang berkiprah di Golkar dan PPP.
Saya dan tim tidak menyerah begitu saja. Kami bekerja secara all out. Hasilnya, terbentuklah kepengurusan DPW PKB Sumatera Utara periode pertama yang diketuai oleh H. Pulokot Siregar. Saya sendiri disuruh pulang kampung menjadi Sekretaris Dewan Syuro di DPC PKB Tapanuli Selatan (waktu itu belum dimekarkan menjadi lima kabupaten/kota).
Pemilu pertama di era reformasi dilaksanakan, 7 Juni 1999. Hasilnya, Deklarator PKB yang juga Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden. Sungguh betapa bahagianya saya saat itu, rasanya terbayar sudah jerih payah keterlibatan (betapapun kecilnya) ketika ikut terlibat menggagas pendirian partai ini.
Pelajaran pertama yang saya dapat dari keiklasan berpolitik di PKB. Sebab secara logika dan akal sehat, mustahil rasanya dengan segala keterbatasan fisik yang dimiliki Gus Dur dapat terpilih menjadi Presiden di negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia ini. Bukankah ini karena keiklasan? Berbuatlah secara iklas, biarkan Tuhan yang menilai dan memberikan balasannya.
Belum genap setahun, gonjang-ganjing politik untuk menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenan mulai dilakukan oleh pihak tertentu. Masyarakat Indonesia terpecah menjadi dua kubu, antara pro dan yang kontra. Sudah pasti saya berada di barisan yang kontra.
Saya lantas mengkonsolidasi gerakan masyarakat untuk menolak penjatuhan Gus Dur. Puluhan elemen masyarakat di Sumatera Utara saya koordinir dibawah lembaga yang disebut dengan nama FRONTAL singkatan dari Front Reformasi Total. Berbulan-bulan lamanya kita melakukan aksi penolakan penurunan Gus Dur. Bahkan salah satu elemen Frontal yang jumlahnya ratusan orang kita kirim ke Jakarta, dengan nama Pasukan Berani Mati untuk bergabung dengan pasukan lain dari berbagai daerah di Indonesia.
Tidak terhitung banyaknya teror, intimidasi, dan tekanan yang ditujukan ke saya untuk menghentikan gerakan tersebut. Diantara berbagai tekanan tersebut, yang paling membuat shock dan tertekan batin adalah sikap dari Ketua Umum kami, H. Mathori Abdul Djalil (Allohu Yarham, semoga Allah mengampuninya), yang sama sekali tidak merespon gerakan yang saya lakukan.
Dia hanya tersenyum sinis mendengar laporan dan semangat kami, ketika secara resmi saya melaporkan kondisi barisan pendukung Gus Dur di Sumut. Beruntung waktu itu Abdul Muhaimin Iskandar (Sekjend DPP PKB saat itu) membesarkan hati saya dan memberikan dukungan moral terhadap gerakan yang kami lakukan. Belakangan memang terbukti, ternyata pak Mathori berada di barisan yang ingin menjatuhkan Gus Dur.
23 Juli 2001 bersamaan dengan Harlah PKB, secara politik Gus Dur berhasil dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR. Meskipun sampai sekarang belum ada keputusan hukum tetap yang menyatakan Gus Dur bersalah dan harus diberhentikan jadi Presiden. Tapi ya begitulah politik.
Pendukung Gus Dur marah dan siap menchaoskan Jakarta. Tapi dengan enteng Gus Dur menyuruh pendukungnya diam dan mengambil langkah mundur.
"Tidak boleh ada satu tetes darahpun yang tumpah kalau hanya untuk mempertahankan kekuasaan," begitu kata Gus Dur saat itu.
Kami para pendukungnya terdiam. Memilih mengikuti perintah kiyai yang kami hormati tersebut. Kami pulang dengan rasa kecewa. Disuruh pulang sebelum berperang.
Pelajaran kedua yang saya dapatkan dari keiklasan berpolitik di PKB. Tidak ada gunanya mempertahankan kekuasaan, apalagi itu dilakukan dengan cara yang munkar.
Selepas Gus Dur diberhentikan jadi Presiden, saya memilih tidak aktif di PKB. Apalagi di Sumut waktu itu sudah banyak pendatang baru, begitu Gus Dur terpilih jadi Presiden. Banyak dari mereka yang pada Pemilu 1999 bukan merupakan pendukung PKB justru merasa sebagai yang paling berjasa terhadap PKB.
Saya memilih untuk memperbaiki ekonomi dulu. Karena dalam pemikiran saya, untuk berpartai butuh uang. Kita berpartai bukan untuk mencari uang, tapi untuk mengabdi. Saya ingat petuah Syekh Muchtar Muda Nasution (salah satu Mustasyar DPP PKB waktu itu) "Jangan mencari penghidupan (kekayaan) di partai, sebaliknya hidup-hidupilah (kayakanlah) partai mu, itu baru namanya kader," begitu nasihatnya waktu itu.
Saya beralih ke bisnis dan meninggalkan sementara dunia aktivis dan politik. Saya mencoba mencari peruntungan di salah satu BUMN yang menangani BBM di daerah ini. Dasar aktivis, saya terpilih menjadi Ketua Hipamitanas (Himpunan Pangkalan Minyak Tanah Nasional) yang sengaja saya bentuk sebagai alat untuk menekan BUMN dimaksud waktu itu. Programnya mengatasi kelangkaan minyak tanah di tengah masyarakat.
Tahun 2008 saya dibujuk kembali untuk aktif di PKB dan dikasih tanggung jawab menjadi Ketua DPC PKB Deli Serdang. Muktamar Luar Biasa Parung (30 April-1 Mei 2008) adalah puncak konflik PKB secara nasional dimana saya menjadi bagian di dalamnya. Di tengah malam, pasca kisruhnya pelaksanaan Muktamar Parung, di depan sorotan sinis mata para senior yang pro Gus Dur, saya dan beberapa orang teman berbagi tugas menggedori kamar-kamar Ketua-Ketua DPC Sumut dan mengajak mereka menuju Ancol, tempat pelaksanaan MLB versi Muhaimin.
Dasar pemikiran saya waktu itu adalah, apapun alasannya PKB ini harus diselamatkan dari kehancuran. Saya yakin Muhaimin mampu menyelesaikan konflik demi konflik yang melanda PKB beberapa tahun sebelumnya.
Alhamdulillah saya dan beberapa orang teman tersebut berhasil meyakinkan kawan-kawan DPC PKB se Sumut untuk bersama-sama menghadiri Muktamar Ancol. Lagi-lagi ini saya lakukan secara iklas, bukan karena disogok dan diiming-imingi oleh pihak manapun. Murni untuk menyelamatkan PKB dari kehancuran. Meskipun secara ideologis saya pengagum Gus Dur.
Tahun 2011 saya ditunjuk menjadi Sekretaris DPW PKB Sumut untuk periode lima tahun ke depan termasuk untuk menghadapi Pemilu 2014. Saya sebenarnya berat menerima amanah tersebut. Karena bagi saya, ber PKB bukan soal jabatan. Dengan atau tanpa jabatan saya sudah membuktikan militansi untuk partai.
Akhirnya sebagai kader dengan ucapan bismillah saya menerima jabatan tersebut. Bersama sahabat Ance dan tentu berkat kerja keras semua pihak, pada Pemilu 2014 perolehan suara PKB meningkat secara signifikan. Kursi DPRD Kabupaten /Kota mengalami peningkatan hampir 100 persen, sedangkan kursi DPRD Provinsi, bahkan meningkat sampai 200 persen.
Lagi-lagi saya menyadari adanya berkah dari keiklasan dalam berbuat di partai besutan para ulama ini. Bagaimana tidak disebut demikian saya yang tidak ada apa-apanya ini sering harus duduk bersama dengan orang-orang hebat dari partai lain. Jujur, kadang saya justru sering merasa minder, merasa kurang percaya diri ketika berhadapan dengan Sekretaris Wilayah dari partai lain di luar PKB, apalagi tidak lama setelah saya menjabat sebagai Sekretaris DPW saya justru mengalami gangguan kesehatan akibat serangan stroke ringan yang hampir membuat tubuh saya lumpuh sebelah.
Beruntung kawan-kawan secara terus-menerus memberikan dorongan dan motivasi untuk segera sembuh dan bangkit. Alhamdulillah tidak sampai tiga bulan saya dapat beraktivitas kembali meskipun dengan segala keterbatasan.
Tahun 2016 saya kembali diangkat menjadi Sekretaris DPW PKB Sumut untuk periode lima tahun berikutnya, sekaligus untuk menghadapi Pemilu 2019.
Pada Pemilu kali ini saya sengaja mengambil Dapil Labuhanbatu Raya (Dapil Sumut VII) untuk DPRD Provinsi. Saya sengaja meninggalkan Dapil yang sebelumnya, yakni Dapil Sumut III (Kabupaten Deli Serdang) yang telah lama saya bina. Tujuannya hanya satu, untuk menyelamatkan kursi PKB yang telah ada sebelumnya dari Dapil tersebut.
Saya sadar betul bahwa saya tidak akan mampu untuk mengalahkan Caleg Incumbent PKB dari Dapil tersebut. Tapi berdasarkan evaluasi dari kawan-kawan DPW kursi di Dapil tersebut sulit untuk dipertahankan, kalau hanya mengandalkan Caleg inkamben. Caleg-Caleg yang ada pada Pemilu sebelumnya akan mundur jika harus berhadapan dengan Caleg inkamben.
Maka dengan segala risiko saya harus mengorbankan diri saya untuk menyelamatkan kursi di Dapil tersebut. Alhamdulillah, kursi di Dapil tersebut memang dapat terselamatkan pada Pemilu 2019 lalu. Pengorbanan saya rasanya tidak sia-sia. Karena tanpa tambahan perolehan suara dari saya pribadi, maka kursi yang ada sebelumnya dipastikan akan lewong.
Untuk kesekian kalinya saya menemukan makna dari kata "iklas" dalam berpartai di PKB ini. Jangankan pemberian kompensasi atau sekadar ucapan terima kasih dari Caleg terpilih di Dapil kami tersebut, yang ada malah ucapan meremehkan.
"Masa aku pula yang mau dilawannya," begitu kata si inkamben yang sampai ke telinga saya melalui kawan-kawan, entah betul atau tidak yang bersangkutan berkata demikian tidaklah perlu bagi saya untuk membuktikannya. Karena dari awal sudah berkomitmen untuk mengikhlaskan apapun hasil dari pengorbanan tersebut. Iklas itu, ya harus menerima apapun hasil yang mengiringiya.
Januari 2021, DPP PKB membebaskan saya dari tugas berat sebagai Sekretaris DPW PKB Sumut. Saya cukup diberi peran sebagai Wakil Ketua, persis dibawah Ketua DPW PKB.
Sebagai kader militan yang ikut membidani lahirnya partai ini 23 tahun yang lalu, saya sami'na wa atho'na terhadap keputusan DPP PKB tersebut. Seperti saya sebutkan di atas, jabatan bukanlah tujuan berpartai. Saya sudah terlanjur mencintai partai ini. Atas dasar kecintaan ini jugalah maka saya tidak merespon keinginan kawan-kawan yang dengan marah mengajak untuk memimpin perlawanan terhadap keputusan DPP tersebut.
Entah serius atau tidak, atau jangan-jangan hanya hiburan di tengah rasa galau waktu itu, ada sejumlah Ketua DPC di Sumut yang siap menanggung risiko diberhentikan dari jabatannya demi menunjukkan solidaritas terhadap saya dan Ketua Ance. Satu jam sebelum acara Muswil dimulai, saya "disandera" oleh beberapa Ketua DPC yang meminta persetujuan saya untuk mengkisruhkan Muswil. Mereka menyatakan siap menchaoskan Muswil. Saya jawab, "tidak boleh ada satu tamparan mejapun dari kalian akibat keputusan ini. Rusuh berarti mempermalukan saya dan Ketua Ance. Semua harus enjoy. Yakinlah semua ini akan indah pada waktunya," demikian jawaban saya meniru ucapan Gus Dur ketika diturunkan dari kursi Presiden. Alhamdulillah kawan-kawan dapat menerima, meskipun dengan linangan air mata.
Yang ingin saya sampaikan dari tulisan panjang ini adalah mengingatkan diri saya dan juga kawan-kawan separtai atau boleh juga kawan di luar PKB, bahwa menjadi aktivis partai tidak melulu tujuannya untuk menjadi pimpinan partai, tidak mesti semua harus anggota legeslatif atau menjadi eksekutif (gubernur, bupati, walikota, termasuk presiden) tidak melulu supaya diperjuangkan partai menjadi Komisaris di BUMN (bila kalah Caleg). Sebab bila itu yang menjadi tujuannya, maka bersiaplah untuk kecewa, bersiaplah untuk berjalan-jalan tidak tentu arah diteriknya matahari siang dengan mengenakan jas dan dasi ala anggota dewan yang terhormat.
Menjadi aktifis partai itu harus iklas. Iklas untuk dipimpin dan memimpin. Iklas mengabdi untuk membesarkan partainya demi mewujudkan cita-cita, visi, misi, flatform dan tujuan partai.
Iklas itu ditandai dengan keenjoyannya dalam menjalankan peran masing-masing. Mereka yang berada pada posisi pembuat kebijakan harus enjoy dengan peran tersebut tanpa harus terbebani dengan intervensi sana sini sama enjoynya dengan mereka yang berada pada posisi sebagai pelaksana kebijakan. Demikian juga dengan mereka yang berada pada posisi pimpinan harus merasa riang gembira dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab agar yang dipimpin juga merasa riang gembira di bawah pimpinannya. Inilah yang membedakan partai selaku organisasi politik dengan perusahaan yang berorientasi bisnis. Semua harus saling membesarkan tidak boleh ada yang tersakiti apalagi yang terzolimi. Kuncinya adalah iklas.
Abdul Muhaimin Iskandar sering bilang, tidak ada kader yang menjadi miskin karena membesarkan PKB, apa lagi hal itu dilakukan secara iklas. Saya sudah mengalami hal tersebut. Dari Pemilu ke Pemilu saya selalu berutang untuk memenuhi kebutuhan kampanye yang tidak ada cukupnya.
Alhamdulillah sampai sekarang saya nggak pernah dikejar-kejar hutang. Ada saja rezeki yang datang yang sifatnya min haitsu layahtasif, yang datangnya secara tidak terduga dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan partai.
Satu hal lagi yang saya syukuri adalah, karena tidak termasuk dalam golongan pimpinan partai yang suka mengemis, meminta-minta terhadap anggota legeslatifnya, baik secara halus apalagi secara kasar (melalui ancaman ini dan itu), baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Bagi saya hubungan pertemanan yang baik jauh lebih berharga dari sekadar transferan nilai rupiah. Ini adalah makna lain dari keiklasan berpartai. Meskipun bukan lagi pimpinan teras di DPW PKB, saya nggak merasa terbebani dengan kelakuan masa lalu yang membuat harus malu atau sungkan untuk berjumpa dengan kawan-kawan lama. Entahlah dengan mereka.
Hal penting lainnya yang patut saya maknai dari keiklasan berpartai selama 23 tahun ini adalah, tidak termasuk dalam barisan mereka yang masuk penjara setelah menjadi anggota legeslatif. Bisa jadi kalau terpilih menjadi anggota legeslatif, saat ini saya mungkin masih berada di dalam ruangan sempit Lapas, sebagaimana yang dialami oleh banyak teman-teman dekat saya.
Tulisan ini sengaja saya sampaikan agar menjadi dokumen digital yang dapat dibaca oleh siapa saja, termasuk mungkin oleh anak cucu saya kelak.
Selamat Ulang Tahun yang ke 23 untuk partai kebanggaan ku, Partai Kebangkitan Bangsa. (23 Juli 1998-23 Juli 2021).
Akan makin dalam rasanya makna keiklasan ini jika pimpinan ku, Gus AMI (Abdul Muhaimin Iskandar) terpilih menjadi Presiden RI pada periode mendatang guna meneruskan keterjedahan yang sempat dialami oleh deklarator partai ini di masa lalu.
PKB Bangkit
PKB Solid
PKB Menang
Drs. H. Jansen Harahap adalah Sekretaris DPW PKB Sumut Periode 2016-2021
Comments