Publik Desak Penegakan Hukum Transparan Terkait Banjir Aek Garoga, Aktivitas Tambang Martabe Disorot
TAPANULI SELATAN
suluhsumatera : Pascabencana banjir bandang dan longsor yang melanda kawasan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, serta sebagian wilayah Tapanuli Tengah, sorotan publik kian menguat terhadap dugaan kontribusi aktivitas industri dalam memperparah kerusakan lingkungan.
Masyarakat sipil dan pegiat lingkungan mendesak aparat penegak hukum melakukan penyelidikan yang menyeluruh, objektif, dan transparan.
Desakan tersebut ditujukan kepada Bareskrim Polri dan Tim Satuan Tugas (Satgas) agar mengusut bencana berbasis data ilmiah, dengan menelusuri kondisi dari hulu hingga hilir Daerah Aliran Sungai (DAS).
Publik mengingatkan agar penegakan hukum tidak berhenti pada satu pihak semata, melainkan mengurai faktor struktural yang lebih luas.
Isu ini mengemuka menyusul beredarnya tudingan bahwa puluhan ribu meter kubik kayu gelondongan yang ditemukan di Sungai Aek Garoga berasal dari aktivitas PT. Tri Bahtera Srikandi (PT. TBS).
Namun, tudingan tersebut dinilai belum sepenuhnya menjelaskan kompleksitas penyebab banjir bandang yang terjadi.
Sorotan terhadap Tambang Emas Martabe
Di tengah polemik, PT. Agincourt Resources (PT. AR) selaku pengelola Tambang Emas Martabe turut menjadi perhatian.
Organisasi lingkungan Satya Bumi menyebutkan bahwa aktivitas pertambangan PT. AR diduga berkontribusi signifikan terhadap meningkatnya risiko banjir bandang dan longsor di kawasan Batang Toru.
Tambang Emas Martabe diketahui telah melakukan ekspansi hingga sekitar 603,21 hektare pada wilayah bertopografi curam dan berada lebih tinggi dari permukiman warga.
Kondisi tersebut dinilai meningkatkan potensi limpasan air, longsor, dan sedimentasi ke wilayah hilir.
PT. AR sebelumnya membantah keterlibatan dalam penyumbatan Sungai Aek Garoga. Namun bantahan itu memunculkan tanda tanya, mengingat Desa Garoga—wilayah terdampak banjir parah—masih berada dalam konsesi perusahaan.
“Pernyataan tersebut sulit diterima secara logika. Jika perusahaan mengklaim tidak terlibat, mengapa selama ini melakukan kegiatan konservasi di Sungai Garoga dan Aek Ngadol?,” ujar Riezcy, perwakilan Satya Bumi, Selasa (16/12/2025).
Satya Bumi juga mengungkap adanya bukaan lahan di atas konsesi PT. AR yang diduga menjadi pemicu aliran air deras saat hujan ekstrem.
Limpasan air dari area tersebut terlihat mengalir ke anak Sungai Garoga dan bermuara ke titik-titik banjir terparah di Desa Garoga, Aek Ngadol, dan Huta Godang.
Berdasarkan penelusuran lapangan dan analisis peta konsesi, bukaan lahan itu diduga dilakukan oleh PT. Sago Nauli di dalam wilayah konsesi PT. AR.
Namun hingga kini, belum terdapat informasi terbuka terkait peralihan izin maupun pembagian tanggung jawab lingkungan antara kedua perusahaan.
“Jika belum ada peralihan izin, maka tanggung jawab hukum tetap berada pada PT. Agincourt Resources. Namun bila izin sudah beralih, pemerintah—khususnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq—harus tegas mengevaluasi dan mencabut izin PT. Sago Nauli,” tegas Riezcy.
Analisis Hidrologi dan Citra Satelit
Secara hidrologis, area Tambang Emas Martabe berada pada dua DAS, yakni DAS Batang Toru dan DAS Nabirong. Meski PT. AR menyatakan Sungai Aek Garoga termasuk DAS Nabirong dan tidak terkait langsung dengan operasinya, perusahaan dinilai belum memberikan penjelasan komprehensif mengenai dampak pembukaan hutan terhadap DAS Batang Toru.
Pantauan citra satelit yang dilakukan Satya Bumi menemukan dugaan jejak aliran banjir dan longsor dari area tailing konsesi PT. AR yang mengalir ke anak Sungai Batang Toru.
Temuan ini memperkuat dugaan adanya korelasi antara aktivitas pertambangan dan bencana di wilayah hilir.
Masifnya eksploitasi hutan dan daerah tangkapan air di Batang Toru dinilai telah menurunkan daya dukung serta daya tampung lingkungan, khususnya pada ekosistem hutan hujan tropis basah.
Sejumlah pihak memperkirakan pemulihan fungsi ekologis kawasan tersebut membutuhkan waktu puluhan tahun.
“Tidak ada lagi ruang kompromi. Tindakan tegas pemerintah adalah keharusan, bukan pilihan. Peringatan masyarakat sipil sejak 2022 diabaikan hingga akhirnya bencana ini merenggut keselamatan manusia dan satwa endemik seperti orangutan dan gajah,” ujar Hayaa, aktivis lingkungan.
Pernyataan Pemerintah Desa
Sementara itu, Kepala Desa Anggoli, Oloan Pasaribu, menyebutkan hasil pengecekan lapangan menggunakan drone menunjukkan longsoran mayoritas berasal dari lahan masyarakat.
“Secara topografi, material kayu dari wilayah itu mustahil terbawa hingga ke Sungai Garoga,” katanya.
Ia juga menyinggung video banjir bandang pada 25 November 2025 yang memperlihatkan arus deras membawa kayu dari Sungai Sosopan hingga Desa Sibiobio, Tapanuli Tengah.
Menurutnya, penyelidikan semestinya difokuskan pada DAS sisi kiri Sungai Garoga yang berada di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
“Penyelidikan harus objektif dan menyeluruh. Jangan asal tunjuk,” tegasnya.
Dengan menguatnya temuan lapangan dan analisis lingkungan, perhatian publik kini kian mengarah pada peran industri besar dalam memburuknya kondisi lingkungan Batang Toru.
Masyarakat berharap penegakan hukum berjalan transparan, berbasis data, serta berani menyentuh seluruh aktor terkait demi keadilan ekologis dan keselamatan warga.
(Baginda Ali Siregar)


Comments