Batang Toru: Jejak yang Hilang di Balik Industri Ekstraktif dan Alih Fungsi Lahan
TAPANULI SELATAN
suluhsumatera : Sarekat Hijau Indonesia (SHI) menyampaikan alarm keras atas kerusakan ekologis yang semakin menganga di kawasan Batang Toru.
Banjir bandang, longsor, dan hilangnya ruang hidup masyarakat disebut bukan sekadar bencana alam, melainkan puncak dari kerusakan sistemik akibat ekspansi industri ekstraktif dan alih fungsi lahan sejak lebih dari tiga dekade lalu.
Ketua DPW SHI Sumut, Hendra Hasibuan, menegaskan bahwa sebelum gempuran investasi besar, mulai dari perkebunan sawit, pertambangan emas hingga pembangunan PLTA, masyarakat Batang Toru hidup dalam tatanan sosial-ekologis yang harmonis.
“Hutan dulu bukan sekadar hamparan hijau. Ia adalah dapur, apotek, budaya, dan ruang spiritual. Sistem pertanian mereka berbasis agroforestri yang menjaga stabilitas DAS Batang Toru selama puluhan tahun,” ujarnya.
Menurut Hendra, warga setempat mengaku nyaris tidak pernah mengalami banjir besar pada masa lalu. Sungai Batang Toru stabil, jernih, dan menjadi penopang utama kehidupan. Namun kondisi berubah drastis sejak awal 1990-an ketika industri ekstraktif masuk membawa model ekonomi yang menekankan eksploitasi sumber daya.
Ekspansi Industri yang Menggerus Hutan
Pembukaan jalan perusahaan, penebangan hutan, penggundulan bukit, serta alih fungsi tanah ulayat menjadi HGU menjadi titik awal rusaknya ekosistem. Hutan yang dulu menjadi penyangga air berubah menjadi lahan terbuka. Tanah kehilangan daya serap, aliran permukaan meningkat, dan hujan deras sedikit saja sudah cukup memicu banjir bandang.
“Suara burung digantikan deru ekskavator. Lahan warga menyusut, dan tanah adat berubah jadi konsesi,” kata Hendra.
Kerusakan lingkungan ini tak hanya memunculkan ancaman fisik, tetapi juga memukul kehidupan sosial-ekonomi warga. Kebun campuran hilang, tanaman pangan berkurang, dan masyarakat perlahan kehilangan identitas budaya yang melekat pada hutan.
Kegagalan Negara Mengawal Ruang Hidup Rakyat
SHI menilai negara turut bertanggung jawab atas situasi ini. Lemahnya pengawasan, penerbitan izin yang tidak berbasis kajian lingkungan, hingga kebijakan tata ruang yang lebih mengakomodasi pemodal ketimbang masyarakat, disebut menjadi akar persoalan.
“Negara seharusnya menjadi pelindung kepentingan publik, bukan penonton dari kerusakan,” tegas SHI.
Bagi mereka, kerusakan Batang Toru bukan semata kerusakan ekologis, melainkan keruntuhan sistem sosial: pangan terganggu, ekonomi rakyat tergerus, dan masyarakat kini hidup dalam ketakutan setiap musim hujan.
Ketika Ekosistem Runtuh
Banjir bandang dan longsor yang kini berulang menjadi bukti hilangnya fungsi ekologis di hulu. Lereng yang dulu kokoh kini rawan runtuh, dan sungai yang dulu bersih berganti keruh akibat sedimentasi dari bukit-bukit gundul.
SHI menegaskan bahwa bencana yang terjadi saat ini harus dikategorikan sebagai bencana ekologis, bukan sekadar bencana alam.
Tuntutan SHI kepada Pemerintah
Dalam pernyataannya, Sarekat Hijau Indonesia mendesak pemerintah daerah maupun nasional untuk mengambil langkah tegas:
- Menggelar audit menyeluruh terhadap seluruh izin industri ekstraktif dan alih fungsi lahan di sekitar ekosistem Batang Toru, baik izin lama maupun yang akan diterbitkan.
- Menghentikan sementara ekspansi sawit dan industri ekstraktif yang berpotensi merusak DAS Batang Toru.
- Melakukan rehabilitasi hutan berbasis masyarakat sebagai upaya pemulihan kawasan hulu.
- Mengembalikan ruang hidup rakyat, termasuk memperkuat hak kelola masyarakat lokal/adat.
- Membangun sistem peringatan dini dan mitigasi bencana untuk melindungi warga dari ancaman banjir dan longsor.
Seruan Terakhir: Selamatkan Batang Toru
SHI percaya ekosistem Batang Toru masih mungkin dipulihkan. Namun itu hanya bisa terjadi jika negara berani menghentikan praktik eksploitasi tak terkendali dan mengembalikan keseimbangan ekologis sebagai dasar pembangunan.
“Ekosistem Batang Toru pernah menjadi benteng kehidupan. Jangan biarkan ia berubah menjadi monumen kegagalan kita menjaga masa depan,” tutup SHI.
(baginda)


Comments